Rusia terjebak dalam gesekan di bidang ekonomi setelah enam bulan menginvasi Ukraina. Ekonominya yang bergantung pada minyak terancam berada diambang resesi.

Menteri Ekonomi Rusia pada awal 1990-an, Andrey Nechaev mengatakan ekonomi Rusia mulai menurun dan kemungkinan menghadapi stagnasi berkepanjangan sebagai konsekuensi sanksi Barat. Meskipun kesiapan China dan India mengambil minyak murah Rusia cukup membantu.

Rubel jatuh ke rekor terendah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) awal tahun ini saat Barat membekukan sekitar setengah dari cadangan mata uang asing Rusia senilai US$ 600 miliar. Meskipun bangkit lagi ke level terkuatnya terhadap dolar AS sejak 2018.

Suku bunga Rusia saat ini lebih rendah dari sebelum perang. Bank sentral mengatakan inflasi yang mencapai hampir 18% pada April 2022 melambat dan akan berada di antara 12-15% untuk setahun penuh.

Bank sentral memperkirakan ekonomi Rusia akan menyusut 4-6% menjadi minus 8-10%. Dana Moneter Internasional (IMF) juga memprediksi ekonomi negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin itu terkontraksi 6% tahun 2022.

Beberapa merek ternama sendiri telah angkat kaki dari Rusia, kecuali McDonalds berganti nama 'Vkusno i Tochka' dan Starbucks secara bertahap dibuka lagi dengan merek Stars Coffee. Mitra Pendiri Macro Advisory Ltd, sebuah konsultan yang memberi nasihat kepada bisnis multinasional di Rusia dan Eurasia menjelaskan alasannya.

Sejak 2014, banyak merek Barat di Rusia menyerah pada tekanan pemerintah dan melokalisasi beberapa atau semua rantai pasokan mereka. Jadi ketika perusahaan-perusahaan pergi, relatif mudah bagi pembeli Rusia untuk membelinya hanya dengan mengganti bungkus dan kemasannya.

"Orang yang sama, produk yang sama, pasokan yang sama," kata Chris Weafer.