Harga minyak dunia menguat lebih dari 2 persen pada perdagangan Selasa kemarin karena didukung oleh meredupnya prospek kebijakan agresif The Fed menyusul tanda-tanda hambatan pada perekonomian AS. Pada saat berita ini dimuat, Rabu (18/Januari) Brent Oil bergerak pada kisaran $86.30-an per barrel, sedangkan minyak WTI berada pada kisaran $80.67 per barrel. Kedua kontrak minyak tersebut sedang mengalami koreksi terbatas pagi ini setelah melonjak signifikan pada sesi sebelumnya.
Kenaikan tajam harga minyak kemarin terbilang cukup mengejutkan. Pasalnya komoditas emas hitam ini cenderung mengabaikan rilis buruk data GDP China yang hanya naik 2.9 persen secara tahunan (Year-over-Year) pada kuartal IV/2022. Padahal selama ini data ekonomi dari negeri Tirai Bambu tersebut menjadi salah satu katalis utama pergerak harga minyak. Data GDP yang mengecewakan itu sekaligus membawa tingkat pertumbuhan ekonomi China tahun lalu sebesar 3 persen saja, level paling rendah dalam kurun empat dekade terakhir.
Harga minyak yang cenderung mengabaikan rilis suram data GDP China kemarin karena sejatinya pasar sudah mengantisipasi dan melihat perlambatan ekonomi China pada kuartal terakhir 2022 lebih disebabkan oleh kebijakan Zero-COVID dan langkah pemerintah China melakukan pembatasan secara berulang kali tahun lalu. Pasar optimis ekonomi China akan kembali bangkit tahun ini, terlebih setelah Beijing belum lama ini resmi meninggalkan kebijakan ketat.
Di samping itu data terbaru mengungkapkan impor minyak China pada bulan Desember mengalami kenaikan 4 persen. Hal ini mampu meredam kekhawatiran pasar terhadap prospek permintaan akibat data GDP yang suram. Permintaan minyak terdongkrak naik karena China tengah menyambut Perayaan Tahun Baru Imlek dimana terjadi kenaikan perjalanan yang meningkatkan konsumsi minyak disana.
Reli harga minyak juga ditopang atas pelemahan dolar AS. Rilis beberapa data ekonomi AS akhir-akhir ini menunjukkan tanda-tanda adanya hambatan yang sedang dihadapi oleh perekonomian negeri Paman Sam. Terlebih data inflasi AS terakhir yang terus melandai membuat pasar memperkirakan kebijakan The Fed akan semakin dilonggarkan pada bulan-bulan mendatang. Pelaku pasar saat ini berekspektasi The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps saja atau laju terlemah dalam delapan bulan terakhir pada pertemuan FOMC selanjutnya.
"Pasar saat ini tengah mempertanyakan seperti apa keputusan Federal Reserve menanggapi rilis data ekonomi yang berdagam dan kemunculan tanda-tanda terjadinya hambatan ekonomi AS," kata John Kilduff, mitra Again Capital LLC di New York.