Harga minyak mentah dunia menguat lebih dari 3 persen pada perdagangan awal pekan karena didukung keputusan OPEC+ yang memutuskan untuk mengurangi output demi menjaga keseimbangan harga minyak. Penguatan harga minyak bertahan hingga hari Selasa (06/September) pagi tercermin dari pergerakan minyak Brent yang berada pada kisaran $95.42 per barrel, menguat 0.27 persen. Sementara itu, minyak WTI bergerak pada kisaran $89.18 per barrel atau terapresiasi 0.26 persen secara harian.
Harga minyak sejatinya melesat lebih dari $4 per barrel pada perdagangan awal pekan kemarin. Namun, reli minyak tertahan oleh komentar presiden AS, Joe Biden yang berkomitmen untuk melakukan berbagai upaya untuk menopang pasokan energi dan menurunkan harga. Pernyataan Biden itu tak ayal sedikit menekan harga minyak mentah AS setelah menyentuh level tertinggi harian pada $90.37 per barrel turun menjadi $88.97 per barrel pada penutupan perdagangan New York tadi malam.
Keputusan OPEC+ untuk memangkas output sebesar 100 ribu per barrel (bph) seolah menjadi angin segar bagi pasar minyak yang terus mencatatkan penurunan dalam beberapa waktu terakhir. Harga minyak semakin tertopang atas penyataan lanjutan petinggi OPEC+ yang mengatakan siap mengadakan pertemuan kapan saja untuk menyesuaikan produksi sebelum pertemuan terjadwal berikutnya pada 5 Oktober mendatang.
“Ini (Pernyataan OPEC) merupakan pesan simbolis yang ingin disampaikan kepada pasar bahwa kenaikan output 100,000 barrel per hari pada bulan lalu bukanlah sebuah masalah yang besar. Apa yang mungkin akan kita lihat di pasaran adalah penetapan harga pada sebagian skenario terburuk,” kata Erlam, analis senior OANDA dalam sebuah catatan.
Produsen utama OPEC, Arab Saudi melihat pemotongan output sebesar 100,000 bph atau 0.1 persen dari pasokan harian global dapat mengatasi apa yang dilihatnya sebagai penurunan harga minyak secara berlebihan dalam beberapa waktu terakhir. Pernyataan senada juga dilontarkan Menteri Energi Rusia, Nikolai Shulginov yang mengatakan Rusia kemungkinan akan memangkas output sebesar 2 persen tahun ini, dilansir dari kantor berita TASS.
“Gambaran yang lebih besar adalah bahwa OPEC+ memproduksi jauh dibawah target produksinya mengingat Angola dan Nigeria menghadapi kendala pasokan. Kami melihat output OPEC tidak dapat kembali ke level pra-pandemi,” ungkap Caroline Bain, kepala analis komoditas di Capital Economics.