Konflik antara Israel dan Hamas masih berlangsung. Akibatnya, utang Israel terus membengkak. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Israel mengumumkan utang negara tersebut telah mencapai 30 miliar shekel atau Rp 123 triliun sejak dimulainya perang dengan Hamas.
Lebih dari setengahnya atau 16 miliar shekel merupakan utang dalam mata uang dolar AS melalui penerbitan di pasar internasional. Kemudian pada Senin (13/11), Kemenkeu Israel kembali menarik utang 3,7 miliar shekel atau Rp 15,2 triliun melalui lelang obligasi mingguannya di pasar lokal.
"Kemampuan pendanaan negara Israel memungkinkan pemerintah untuk membiayai seluruh kebutuhannya secara penuh dan optimal," kata Divisi Akuntan Jenderal Kementerian Israel dikutip dari Reuters, Kamis (16/11/2023)
Konflik yang dimulai pada 7 Oktober lalu itu membuat pengeluaran Israel meningkat tajam. Dana itu digunakan untuk membiayai kebutuhan militer, memberikan kompensasi kepada keluarga korban dan bisnis dekat perbatasan hingga sandera yang disandera oleh Hamas. Pada saat yang sama, penerimaan pajak juga melambat.
Sebab itu, negara tersebut mengalami defisit anggaran 22,9 miliar shekel pada Oktober. Jumlah ini melonjak dari bulan sebelumnya, sebanyak US$ 4,6 miliar sekaligus meningkatkan defisit pada tahun sebelumnya menjadi 2,6%.
Meski begitu, Kemenkeu Israel tersebut terus berkomitmen untuk mendanai operasional pemerintah, termasuk kebutuhan yang timbul akibat perang dan bantuan ekonomi ke warga lokal.
Sementara itu, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu berjanji akan menyediakan kebijakan untuk membantu mereka yang terkena dampak perang. Para ekonom meyakini kebijakan tersebut akan meningkatkan defisit dan rasio utang terhadap PDB secara tajam hingga 2024.
Namun, Gubernur Bank of Israel Amir Yaron mengatakan pemerintah perlu menyeimbangkan antara mendukung perekonomian dan mempertahankan posisi fiskal yang sehat. Di sisi lain, Lembaga Pemeringkat Kredit telah memperingatkan bahwa mereka dapat menurunkan peringkat Israel jika utang memburuk.