Indeks dolar AS (DXY) kembali melanjutkan reli pada perdagangan Asia awal pekan (29/Agustus) dengan berada pada kisaran 109.31 atau menguat 0.44 persen secara harian. Penguatan dolar AS terhadap mata uang utama sebagian besar dipicu oleh pernyataan ketua The Fed pada Jumat pekan lalu yang mengatakan akan mempertahankan laju kenaikan suku bunga dalam waktu lebih lama untuk memerangi inflasi.
Dolar AS terpantau menguat 0.74 persen terhadap mata uang Yen, tercermin dari pergerakan pair USD/JPY yang berada pada kisaran 138.53. Di samping itu, greenback juga menguat signifikan melawan mata uang Euro dan Sterling. Pair EUR/USD saat ini bergerak pada kisaran 0.9931 atau melemah 0.33 persen, sedangkan GBP/USD melemah 0.53 persen. Mata uang komoditas seperti dolar Australia ikut terpuruk setelah mencatatkan pelemahan lebih dari satu persen.
Setelah tertekan cukup lama, dolar AS langsung melonjak menyusul pidato Jerome Powell pada hari Jumat pekan lalu memperingatkan bahwa akan muncul dampak negatif bagi rumah tangga dan bisnis AS yang disebabkan oleh rencana The Fed dalam mengendalikan inflasi.
“Dalam pernyataan terbarunya, Powell tidak menunjukkan bias dovish seperti yang diperkirakan oleh pelaku pasar sebelumnya,” kata Carol Kong, analis senior strategi FX dan ekonomi Commonwealth Bank of Australia dalam sebuah catatan.
Dalam lanjutannya, Kong optimis bahwa reli bullish dolar AS akan berlanjut pada pekan ini. Tidak tanggung-tanggung, dia memperkirakan indeks dolar akan menembus level 110 seiring dengan meningkatnya ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed secara lebih agresif di bulan-bulan mendatang.
Setelah pidato Powell pekan lalu yang sangat hawkish, probabilitas kenaikan suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin (bps) pada bulan September menjadi 64.5 persen, dikutip dari FedMarket Watch. Padahal sebelumnya, pelaku pasar bertaruh The Fed hanya akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps saja pada pertemuan bulan depan.
Terlepas dari lonjakan dolar AS dalam dua sesi terakhir, bagaimanapun pelaku pasar turut mencermati perkembangan kawasan Uni Eropa, terutama pertemuan kebijakan ECB bulan September mendatang. Masalah krisis energi Eropa masih menjadi sorotan setelah raksasa gas Rusia, Gazprom mengatakan akan menghentikan pasokan gas selama tiga hari menuju Eropa dari tanggal 31 Agustus hingga 2 September.